e LINKKARDOEA'S BLOG

Translate This Blog

Your Ad Here
Google
22 May 2008
“Dokter, Langkahmu Menentukan Nasib Bangsaku”
Kelangsungan hidup suatu bangsa tidak pernah lepas dari pengaruh tokoh-tokoh yang ada didalamnya, begitupun apa yang telah kita rasakan hari ini adalah hasil dari sebuah karya besar yang telah diciptakan oleh tokoh bangsa kita yang hidup pada masa lalu, masa disaat bangsa ini tertindas oleh penjajahan. Kalau kita melihat kembali sejarah bangsa kita, selama 350 tahun bangsa kita dijajah, dengan segala macam bentuk penindasannya. Namun setelah terjadinya 2 peristiwa penting yaitu lahirnya Budi Utomo (1908) dan Sumpah pemuda (1928), Indonesia mendapatkan sebuah “ruh” yang baru, “ruh” yang membangkitkan kembali semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia


Telah genap seabad yang lalu tepatnya tanggal 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai hari kebangkitan nasional, Budi utomo lahir dari rahim-rahim mahasiswa kedokteran Bumi Putra yang juga dikenal dengan STOVIA. Atas anjuran dr. Wahidin Sudirohusodo, dr Sutomo beserta mahasiswa kedokteran lainnya melakukan pertemuan di ruangan anatomi STOVIA untuk membahas masa depan bangsa serta perlunya agen-agen perubahan (agent of change) untuk mempelopori pembangunan kebangsaan.
Peranan dokter sebagai tokoh perjuangan dari masa ke masa rasanya sulit untuk kita hilangkan dari memori yang tersimpan di “gyrus-gyrus” otak kita. Kiprahnya dimulai dari masa kebangkitan nasional, yang dipelopori oleh mahasiwa kedokteran, keikutsertaannya dalam penumpasan penjajah di zaman Belanda dan zaman Jepang menjadi bukti bahwa dokter juga selalu mengisi garis depan atau belakang dalam setiap pertempuran. Beberapa diantaranya seperti Prof. dr. A Mochtar yang ditembak mati dalam tahanan Kem Pei Tai di Jakarta (1945), Dr Muwardi pendiri barisan pelopor yang diculik dari RS Jebres Solo (1945) yang tidak pernah ditemukan sampai saat ini, dr. Rubini dipancung jepang di Pontianak dan masih banyak dokter-dokter lainnya yang rela mengorbankan jiwaraganya semata-mata bertujuan melihat bangsanya kembali ceria. Terlihat jelas disini bahwa begitu besar peranan mahasiswa kedokteran dalam sejarah kebangkitan nasional, sebuah hari awal pergerakan menuju kemerdekaan bangsa. Kiprah dokter tidak berhenti disini saja, setelah kemerdekaan RI dokter kemudian diperhadapkan dengan tantangan baru untuk membangun bangsanya khususnya meningkatkan kualitas kesehatan bangsa Indonesia yang merdeka. Beberapa konsep yang telah dibuat seperti yang konsep pembangunan kesehatan integratif; memadukan RS, Poliklinik, BKIA dalam sistem rujuk; penempatan dokter di daerah sebagai dokter PTT, penempatan bidan desa, pemanfaatan obat generik; perubahan paradigma sakit menjadi paradigma sehat; penggagasan pelayanan kesehatan terpadu berbasis dokter keluarga; program JPKMM/Askeskin; penurunan harga obat-obatan serta pencanangan desa siaga semuanya adalah perjuangan dokter-dokter kita untuk menyehatkan bangsa ini. Apakah kita mampu melanjutkan perjuangan dokter-dokter mulia ini…!!!
Figur seorang dokter pada masa lalu patut untuk kita berikan acungan jempol, mereka tidak hanya dididik untuk menjadi seorang yang bisa menyembuhkan penyakit saja tetapi mereka juga didik untuk berpikir bagaimana memerdekakan bangsanya, memajukan bangsanya, dan meninggikan derajat bangsanya menjadi bangsa yang terhormat. Mereka tidak akan pernah tahan melihat tanah pijakannya dibasahi oleh tangisan rakyat yang terjajah karena bangsa yang sedang sakit sebab didalam dirinya terpatri jiwa seorang dokter yang selalu melihat nilai kesetaraan.
Menurut Ketua PB IDI, Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes, “Dokter adalah seorang cendikiawan yang dalam menjalankan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah masyarakat dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala tindakannya. Nilai profesi itu antara lain adalah kemanusiaan (humanism), etika (ethics) dan kompetensi (competence). Dimanapun dokter ditempatkan seyogianya ia menjalankan trias peran dokter: agent of treatment, agent of change, dan agent of development. Itulah yang dilakukan oleh dr. Wahidin dan para sejawatnya seabad yang lalu jauh sebelum adanya rekomendasi WHO.”

Kalau kita merenung mungkin saat ini bangsa kita sakit lagi seperti 100 tahun silam walaupun dengan kondisi yang berbeda. Berbagai masalah kesehatan datang silih berganti seperti ombak pantai yang tak henti-hentinya menghempaskan gelombangnya di dataran Indonesia. Secara umum, terdapat dua jenis persoalan yang berkaitan dengan turunnya kualitas kesehatan ini, yaitu, masalah kesehatan yang bersifat luar biasa dan temporer namun memiliki dampak yang besar, seperti flu burung dan yang terakhir virus Enterovirus (EV71) yang mematikan yang telah menyerang China. Jenis lain adalah ancaman kesehatan yang sebenarnya merupakan kejadian yang berpotensi berulang setiap tahun, namun mengalami peningkatan baik kuantitas dan kualitas. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan, dan busung lapar. Berdasarkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) permasalahan kesehatan meliputi 6 sub sistem yaitu (1) sub sistem pelayanan kesehatan (2) sub sistem pembiayaan kesehatan, (3) sub sistem sumber daya manusia kesehatan (4) sub sistem obat dan perbekalan kesehatan (5) sub sistem Pemberdayaan Masyarakat dan (6) sub sistem manajemen kesehatan.
Depkes RI dalam situsnya memberitakan sebanyak 359 anak di NTB menderita busung lapar dan telah merenggut 8 jiwa sehingga digolongkan dalam kejadian KLB, kutipan Koran Tempo (31/5/05) memberitakan bahwa sebanyak 1.159 balita di Tangerang dinyatakan bergizi buruk atau pada tahap mendekati busung lapar, untuk menangani hal ini maka anggaran yang telah ditetapkan pemda untuk pendirian klinik gizi di 27 puskesmas harus dipangkas. Belum lagi Makassar seorang ibu yang sedang mengandung, dan anaknya tewas setelah 3 hari tidak makan. Dan yang terakhir seorang bapak yang tega meracuni ketiga anaknya karena tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya untuk makan dan minum. Realitas ini hanyalah sebagian dari begitu banyaknya kasus yang terjadi.
Dalam rapat yang membahas masalah-masalah kesehatan 2008, penyakit-penyakit utama yang dibahas adalah AIDS, TB, Malaria dan DBD. Di Indonesia, penderita HIV/AIDS tercatat sejumlah 9689 jiwa sampai Juni 2007. DBD pun mewabah Hingga akhir April 2007, 9 dari 13 kabupaten dan kota di Kalsel terjangkit DBD sehingga statusnya dinyatakan sebagai KLB. Sementara itu, dari 300 lebih kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia, ada 37 dintaranya dinyatakan sebagai ‘daerah merah’ karena rendahnya konsumsi garam beryodium. Dan masih banyak lagi wabah penyakit yang mesti segera ditanggulangi.
Realisasi paradigma sehat yang sebagian besar tertuang di dalam Visi Indonesia Sehat 2010, nampaknya masih cukup jauh dari harapan. Bahkan tidak berlebihan jika mengatakan pembangunan kesehatan kita saat ini terancam gagal. Sebagai gambaran, indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia tahun 2007 berada di peringkat 107, dibanding dengan Negara tetangga lainnya seperti Australia yang berada di peringkat 3, diikuti Singapur yang berada di peringkat 25, Brunei di peringkat 30, Malaysia di peringkat 63 dan kemudian Thailand di peringkat 78. Indonesia bahkan menjadi juru kunci untuk tingkat ASEAN. Data BPS pada tahun 2005, HDI/IPM bangsa indonesia pada tahun 2005 menunjukkan angka sebesar 0,9. HDI merupakan gambaran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa dari Program Pembangunan PBB (UNDP), yang dilihat dari tiga aspek, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi. Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional. Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter. Masyarakat miskin sedikitnya bisa bernafas lega dengan kebijakan pemerintah dengan menrunkan harga obat dan adanya program pemerintah berupa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin atau lebih dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang merupakan jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.
Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes, mengatakan bahwa “Para dokter telah terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Banyak dokter yang akhirnya lebih concern bahwa ilmu kedokteran hanyalah mempelajari segala sesuatu tentang penyakit. Akibatnya kewajiban untuk menyehatkan rakyat hanya sekadar menganjurkan minum vitamin, mineral, tonik, dll, serta mengobati pasien yang sakit. Dokter lupa bahwa selain melakukan intervensi fisik, juga harus berperan dalam intervensi mental dan sosial di tengah masyarakat. Dokter dalam kiprahnya seyogianya menerapkan trias peran dokter: sebagai agent of treatment, agent of change dan agent of development. WHO baru tahun 1994 mengidentifikasi kiprah ini dan menyebutnya sebagai “The Five Star Doctors” yaitu: Community leader, Communicator, Manager, Decision Maker dan Care Provider.”
Menangani permasalahan-permasalahan kesehatan diatas bukanlah sebuah hal yang tidak bisa lakukan. Oleh karena itu melakukan revitalisasi dalam bidang kesehatan adalah hal yang “urgent”. Peran dokter dalam peningkatan indeks pembangungan manusia (IPM) dapat memberikan kontribusi yang cukup besar. Diperlukan dokter yang mampu memberikan inspirasi, motivasi dan dapat menggerakkan masyarakat luas maupun semua sektor untuk berperan aktif dalam upaya kesehatan. Selain itu dokter juga harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang kebijakan publik, kaya ide-ide inovatif dan mampu mengkomunikasikanya secara elegan kepada masyarakat luas. Kita tidak boleh hanya tinggal diam melihat bangsa ini kembali sengsara, bangsa kita telah sakit secara fisik, mental dan sosial. Jika hal ini terus dibiarkan maka akan menyisakan kepedihan-kepedihan bagi anak cucu kita. Dokter yang saat ini masih memandang sehat sebagai penyehatan fisik saja maka ini harus diubah, ia harus berperan juga dalam penyehatan mental dan sosial bangsa, tidak sebagai agen yang mengobati saja melainkan dapat menjadi agen pengembangan dan perubahan bangsa. Sehatnya bangsa memiliki pengaruh yang besar untuk kemajuan bangsa dan ini memerlukan ketiga pilar diatas yaitu sehat fisik, mental dan sosial.
Dengan melakukan revitalisasi pergerakan dokter maka bangsa kita yang sakit hari ini menjadi sehat kembali sebagaimana defenisi sehat itu sendiri menurut UU RI nomor 23 Tahun 1992 “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Semangat dokter yang hari ini mulai memudar dapat kita bentuk lagi yang kemudian menciptakan sebuah gelombang yang sangat kuat setelah seabad kebangkitan nasional. Langkah kita sangat menentukan nasib bangsa kita di kemudian hari, apa yang akan kita lakukan saat ini semoga saja dapat memberikan kenangan indah yang tak terlupakan buat penerus bangsa kita pada 100 tahun yang akan datang seperti yang telah dikerjakan dokter-dokter kita 100 tahun yang lalu.
Bangkitlah wahai dokter-dokter Indonesia dari tidur lelapmu selama 100 tahun….!!!



(More........)

cellink @|| 6:15 PM ||  0 comments
07 May 2008
Psikologi Nyeri
Psikologi Nyeri

Persepsi dari nyeri melibatkan sensasi yang jauh lebih banyak. Komponen afektif dan evaluatif dari nyeri sering sama pentingnya dengan produksi dan transmisi dari tanda nyeri. Aspek emosional ini merupakan yang paling utama pada pasien dengan nyeri kronik. Akan tetapi pengetahuan mengenai psikologi dari nyeri dapat memperbaiki keadaan pasien seperti halnya pada pasien dengan nyeri akut.

Nyeri dan Persepsi
Sistem limbik, dimana emosi diproses disini, akan memodulasi sejumlah pengalaman nyeri pada saat mendapat stimulus noxius. Ini telah ditunjukkan pada pasien-pasien kanker yang telah dilakukan lobektomi frontal, dimana komponen efektif dari rasa nyeri dapat diblok sepenehuhnya. Pasien-pasien dengan lobektomi masih merasakan nyeri yang berat, tetapi ini tidak mengganggu mereka. Nyeri seperti itu dapat dipandang sebagai suatu sinyal adanya kelainan dalam tubuh, sampai sinyal ini mencapai otak maka sinyal ini akan kita rasakan sebagai nyeri.
Respon emosional pada rasa nyeri meliputi girus cingulated anterior dan korteks prefrontal ventral kanan. Pusat-pusat ini selalu diaktivasi oleh penolakan sosial. Serotonin dan norepinefrin juga terlibat dalam modulasi stimulus dari rangsang nyeri, yang mana kemungkinan mempengaruhi, bagaiamana depresi dan obat-obat antidepresi mempengaruhi dari persepsi nyeri.

Konteks
Persepsi nyeri akut sangat tergantung pada konteks saat terjadinya nyeri. Ini telah ditunjukkan pada nyeri yang dirasakan dari luka-luka yang terjadi saat terjadi trauma dimana memberikan hubungan yang kecil untuk sejumlah luka-luka. Ada laporan dari para prajurit yang telah bertempur yang menderita patah tulang, dan ada juga yang hanya merasakan nyeri tertusuk-tusuk. Dalam percobaan studi-studi laboratorium tentang nyeri, dimana mencakup konteks, ketakutan, dan kecemasan terkontrol, efek placebo dan opioid sebagian besar kurang efektif. Hal ini terjadi karena pengurangan rasa ketakutan dan kecemasan keduanya adalah suatu bagian yang besar dari efek placebo dan fungsi opioid-opioid.

Perhatian
Memusatkan perhatian pada nyeri, membuat sensasi nyeri tersebut menjadi lebih berat. Pasien-pasien yang memiliki preokupasi somatik atau hipokondriasis lebih sensitif terhadap sensasi-sensasi jasmani. Ini telah ditemukan pada mereka yang telah diberikan sensasi nyeri ini, kemudian mereka merasakan rasa nyeri yang lebih sakit dari hal yang mereka rasakan.
Sebaliknya pada pasien-pasien yang tidak memeperdulikan nyerinya, mereka dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya secara bermakna. Pasien-pasien luka bakar yang sedang medapatkan terapi atau menjalani terapi fisik masih merasakan nyeri yang menyiksa meskipun telah diberikan obat-obat golongan opioid. Hal ini telah ditunjukkan bahwa pasien ini hanya merasakan sebagian kecil dari rasa nyeri jika dihadapkan dengan permainan game virtual selama prosedur ini.

Kecemasan
Kecemasan, ketakutan, dan kehilangan suatu perasaan untuk mengendalikan nyeri berperan dalam penderitaan yang dialami pasien. Mengobati kecemasan dan memberikan dukungan psikologikal telah dibuktikan dapat memperbaiki nyeri dan dapat mengurangi penggunaan obat analgesik. Membantu pasien untuk memperbaiki kontrol nyerinya serta berpartisipasi dalam hal perawatannya juga sangat membantu mereka. Dokter perlu mencoba untuk menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif. Dalam setiap prosedur penggunaan jarum-jarum dan peralatan lainnya diusahakan jauh dari penglihatan pasien. Sebagai tambahan dalam melakukan prosedur, dokter menjelaskan dan meyakinkan pasien bahwa prosedur yang akan dilakukan itu tidak terlalu sakit melainkan hanya akan merasa sedikit nyeri. Mengalihkan perhatian pasien-pasien dengan percakapan tentang hal-hal yang menarik perhatian mereka, seperti kegemaran-kegemaran atau keluarga mereka juga sangat membantu mengurangi rasa nyeri.

Memori
Pasien-pasien yang memiliki rendahnya tingkatan daya ingat terhadap rasa nyeri yang telah dialaminya akan merasakan nyeri yang lebih buruk jika dibandingkan saat pertama kali melaporkannya., dimana cenderung menjadi lebih buruk untuk bebearapa waktu kemudian. Hampir semua pasien melaporkan nyerinya berkurang setelah diterapi, tetapi saat pengukuran menggunakan skala nyeri hasilnya tidak memberikan nilai yang signifikan, dan kadangkala derajat nyeri menjadi lebih buruk.

Mempelajari nyeri.
Nyeri adalah sebuah respon yang dapat dipelajari, tidak hanya melihat masalah fisiknya saja. Seperti halnya pada pasien-pasien kanker yang dapat terjadi nausea/mual sebagai suatu respon terhadap terapi dan pengalaman itu dapat dijadikan pelajaran sebelum kemoterapi dijalankan, pasien-pasien dapat belajar merasakan nyeri bahkan jika stimulus phisikal tidak ada. Pada beberapa kasus, nyeri dapat berada di alam pikiran saja, seperti kasus seorang penjagal yang lenggannya tersangkut di sangkutan daging, dan telah dilaporkan bahwa nyeri yang dia rasakan sangatlah nyeri. Ketika dia belajar bahwa sangkutan daging tadi hanya mengenai lengan bajunya saja dan tidak melukai tangannya, nyeri yang ia rasakan hilang.
Pasien-pasien dapat belajar untuk merasakan sejumlah perbedaan dari nyeri cukup dengan mengamati orang lain. Saat percobaan laboratorium yang dilalukan pada model dengan toleransi nyeri yang tinggi, mereka memerlukan 3,48 stimulus yang lebih besar sebelum mereka merasakan apa yang disebut dengan nyeri, dibandingkan dengan model lainnya yang memliliki toleransi rendah. Nonaversive shock, yang biasanya digambarkan dengan “rasa geli”, sebanyak 3% merasakan nyeri pada model yang toleran nyerinya tinggi jika dibandingkan dengan model yang toleran nyeri rendah sebanyak 77 % merasakan nyeri.

Harapan
Harapan-harapan pasien terhadap berapa banyak nyeri yang seharusnya dia peroleh serta pengaruh terhadap dirinya dan seberapa besar nyeri yang mereka rasakan, dan bagaimana respon mereka terhadap terapi, dan apakah kondisi ini dapat menjdi kronik dan menjadikan kelumpuhan. Hasil dari luka cambukan telah ditunjukkan dari tingginga variable dalam daerah yang berbeda-beda.. Setiap nasehat yang diberikan kepada pasien-pasien yang memiliki luka debilitating yang serius mungkin berperan untuk necngembalikan kondidi dan sikap maladaptive terhadap munculnya nyeri yang lebih buruk lagi. Meresepkan obat-obatan dapat berperan untuk masalah ini. Pasien-pasien yang yang tidak sembuh sakitnya dan diberitahu “bertidak secara biasa” memberikan hasil yang jauh lebih baik.
Efek placebo juga dipengaruhi oleh pasien dan harapan dokter. Hal ini dapat diasumsikan bahwa pengaruh “nocebo” ( dengan kata lain, persepsi yang merugikan tergantung dari seberapa besar kepercayaan pasien) dapat juga merupakan hasil dari pesan-pesan bahwa kecemasan dan harapan-harapan dari nyeri meningkat dengan tak hati-hati.

Percaya dan Mengatasi
Permasalahan psikososial yang lain seperti kepercayaan pasien terhadap nyeri mereka, bagaimana menghadapi nyeri yang dialaminya, keterampilan pasien-pasien menghadapi nyerinya, kecederungan untuk menjadi cataztrophine, self efficacy, focus or control, dan keterlibatan mereka dalam menghadapi penyakitnya, keseluruhan hal diatas memeberi dampak seberapa besar nyeri yang dirasakan pasien dan bagaimana nyeri ini menpengaruhi mereka.
Pada pasien-pasien yang menderita low back pain yang telah berhasil sembuh dan kemudian kembali bekerja, faktor yang paling penting adalah mengurangi perasaan subjektif yang muncul akan ketidakmampuannya. Pasien yang didiagnosa dengan fibromyalgia harus menghentikan catastrophine dan mereka harus diajak bahwa sekiranya mereka memiliki kemampuan untuk lebih produktif. Sebagai konsekuensinya, dokter harus memfokuskan dalam meningkatkan fungsi dan manajemen jangka panjang. Pasien harus diberikan pengertian bahwa dirinya memiliki peran yang penting dalam mengelola nyerinya sehingga mampu untuk meminimalkan nyeri selama hidupnya.


Nyeri kronik
Pasien-pasien dengan nyeri kronik biasanya mempunyai masalah terhadap aspek psikologi dan emosional dari nyeri. Faktor psikologi yang ada sebelumnya menjadi sangat penting dalam perkembangan nyeri kronik yang muncul setelah operasi juga dalam sindrom nyeri regional yang kompleks, tipe sakit kepala dengan tension, dan fibromialgia. The National Institute of Health Assesment Conference Statement menemukan 6 faktor yang berhubungan dengan kegagalan terapi pada penderita low back pain. Semuanya adalah menyangkut psikososial. Meskipun kronik, eposodik, low back pain merupakan komponen vital yang berpengaruh di dalam kehidupan sosialekonomi dan psikologi.
Terdapat sebuah pola kurang baik dimana nyeri ini dapat menyebabkan stress dan ketidakmampuan, dan memperburuk peresepsi nyeri ini. Gaya hidup yang tidak sehat, hilangnya dukungan sosial, penyakit depresi, dan penyalahgunaan zat menajdi fakror predisposisi terjadinya nyeri kronik. Nyeri kronik dikenal sebagai satu kesatuan ketika berinteraksi antara hukum, psikologis, obat-obatan, dan kondisi keluarga.

Perilaku
Immobilitas bisa menjadi suatu faktor pada orang dewasa “reflex sympathetic dystrophy,” dimana biasanya dapat terjadi overdiagnosis. Suatu studi distrofi refleks neuorovaskular pada anak-anak menjelaskan pembengkakan, perubahan kulit, dan penurunan temperatur kulit disebabkan oleh immobilisasi pada ekstremitas tergantung pada posisi. Immobilisasi yang lama juga menyebabkan terjadinya fibrosis kronik dari jaringan subkutaneus serta kontraktur tendon dan ligamen. Psikoterapi sangat efektif dilakukan pada keadaan seperti ini dimana ini meliputi stimulasi sensoris dan menggunakan ekstremitas yang berpengaruh.
Ketidakaktifan merupakan suatu halangan yang serius dalam perbaikan nyeri kronik, dan dapat diikuti dengan terjadinya nyeri myofascial. Banyak pasien-pasien fibromyalgia yang didapatkan memiliki siklus yang hebat pada perilaku nyeri yang maladaptive, menghasilkan kondisi yang tidak sama seperti sebelumnuya pada waktu akan datang, disfungsi sosial, dan nyeri berikutnya yang lebih buruk.
Kegemukan juga merupakan suatu masalah dengan nyeri kronik. Sebuah tinjauan ulang pada pasien-pasien pada suatu klinik rehabilitasi , Diantara mereka, terdapat pasien-paseien yang tidak dapat kembali bekerja atai berfungsi dan sebanyak 78% yang mengalami keniakan berat badan. Kebanyakan pasien low back pain berada pada tingkatan yang terendah untuk kapasitas aerobik.
Perilaku nyeri, seperti penjagaan, jiplakan, grimacing (menyengir), bernafas panjang, telah ditunjukkan bahwa ini sangat dipengaruhi oleh faktor psikologi. Beberapa pasien dengan nyeri kronis menunjukkan perilaku nyerinya jika berada di sekita orang banyak, atau mengurangi perilaku ini saat tidak ada yang memperhatikannya. Dengan berperilaku seperti ini sebagian dari pasien ingin menunjukkan bahwa nyeri yang dialaminya sangatlah nyeri. Mengeliminasi perilaku ini dapat memperbaiki nyeri yang dirasakan. Ini telah dicatat bahwa pasien dengan nyeri neuropati diperbolehkan untuk lebih mengembangkan penjagaan dan disfungsi tingkah laku, kemudian obat-obatan tidaklah efektif, dan pasien membutuhkan penanganan nyeri yang lebih multidisiplin.
Nyeri merupakan suatu kondisi responsif yang dapat disamakan dengan kondisi mual pada pasien kemoterapi. Perilaku awalnya hanya merupakan sebuah respon terhadap luka. Ini kemudian bertambah berat dan menciptakan kondisi responsif, dan berkomplikasi iatrogenic pada terapi, utamanya saat respon nyeri memberikan hasil yang membingungkan terhadap perilaku nyeri yang diekspresikan. Efek dari bertambah beratnya keadaan ini digambarkan pada kasus ini dimana seorang wanita umur 10 thn yang memililki nyeri perut kronik yang sudah mencoba untuk mengobati keadaan ini namun tidak memperoleh hasil yang diinginkan. Selama episode ini, ibunya memperbolehkannya untuk beristirahat ditempat tidur dengan mainannya sambil menonton siaran televisi, serta membawa makanan dan minumannya. Setelah beberapa jam atau lebih ia kembali ingin bermain. Setelah ibu ini menghentikan perilaku nyeri yang bertambah berat pada pasien tadi, episode ini sangat cepat dikurangi, sama halnya dengan menggunakan obat-obat belladon dan fenobarbital.
Nyeri dapat diakibatkan oleh keadaan reaksi dari rasa takut yang menetap bahkan setelah nyeri ini hilang, reaksi fobia terhadap aktivitas nyeri dan tidak nyeri, dan gangguan stress setelah trauma. Beberapa pasien mengalami perbaikan dari rasa nyeri yang dialaminya dengan terapi desensitasi.

Penyakit Kejiwaan
Secara menyeluruh sebagian kematian pasien yang mengalami gangguan kejiwaan 67% adalah menderita nyeri kronik dan yang mengalami gangguan personal ditemukan sebanyak 37% sampai 59% dari pasien yang menderita nyeri kronik. Antara pasien-pasien yang mengalami low back yang dirawat di pusat nyeri multidiplinpain, 70% ditemukan mengalami gangguan hysteria, dan 8% memiliki gangguan sociopathic personal.

Gangguan nyeri somatoform
Gangguan somatoform adalah keadaan dimana gejala fisik yang muncul memperlihatkan kedaan gangguan klinis secara umum namun tak dapat dijelaskan lebih jauh lagi. Antara gangguan-gangguan somatoform “gangguan nyeri yang ada kaitannya dengan faktor psikologi” adalah dikhususkan dalam Diagnostic and Manual of Mental Disorders, edisi ke 4 (DSMIV) sebagai kondisi klinis dimana nyeri merupakan fokus dan faktor psikologi adalah yang utama saat munculnya, beratnya, lamanyanya, atau eksarserbasi epidemologi pada kondisi ini tidak diketahui, tetapi nyeri kronik yang tak bisa dijelaskan dan menyebabkan ketidakmampuan sering ditemukan di poliklinik dan ruangan gawatdarurat. Gangguan nyeri yang dihubungkan dengan faktor psikologis telah ditemukan pada klinik nyeri yang melayani populasi miskin, sebanyak 88% telah dirujuk ke klinik nyeri. Kebanyakan pasien-pasien dengan ganggguan somatoform merasakan nyerinya menyebar ketempat yang baru dari dari tempat luka, sedangkan ini tidak terjadi pada pasien-pasien yang memliliki luka dengan tanda objektif dibandingkan dengan pasien yang memiliki luka dengan tanda objektif. Dibandingkan dengan pasien yang memiliki luka serius disertai nyeri jangka panjang , pada pasien dengan gangguam somatoform yang ringan, adalah lebih sering menggunakan opioid 5 kali sehari, lebih dari itu dalam satu program telah didapatkan 30% insiden pada pasien dengan penyalahgunaan terapi opiod diantaranya mengalami gangguan somatoform, lebih tinggi dibanding pasien-pasien lainnya.
Hipokondriasis, bentuk lain dari gangguan somatoform yang melibatkan rasa takut memiliki suatu penyakit ketika ini tidak ada, juga telah diidentifikasi pada pasien-pasien dengan nyeri kronik. Ditemukan lebih buruk lagi pada pasien yang mendapatkan terapi dengan morfin dan yang menyalahgunakannya.

Gangguan perasaan
Pada studi pasien-pasien dengan nyeri kronik yang menggunakan opioid, 61% didapatkan menglamai depresi berat. Ini muncul bahwa nyeri menyebabkan depresi sedikitnya nyeri sering disebabkan dari depresi. Meskipun demikian, diketahui depresi membuat nyeri pasien menjadi lebih buruk. Menangani depresi dapat memperbaiki dan pada beberapa kasus dapat mengurangi nyeri tersebut pada pasien dengan nyeri kronik. Apakah depresi dianggap penyebab dari nyeri kronik, ini seharusnya dipertimbangkan sedikitnya pada kondisi comorbid yang memerlukan terapi yang bersamaan.
Pada gangguan kecemasan telah ditemukan sebanyak 10,6% berkaitan dengan pasien-pasien nyeri musculoskeletal kronik. Resiko seumur hidup dari gangguan kecemasan yang berat pada pria yang memiliki nyeri low back pain kronik adalah sebesar 30,9% dibandingkan dengan 14,3% pada pria yang tidak memiliki nyeri low back pain. Hal ini seperti pada beberapa pasien “nyeri kronik” yang biasa menggunakan obat opioid untuk menangani kecemasan dan deperesinya, daripada menggunakan anxiolitic atau antidepresan. Pasien ini tidak hanya menggunakan obat yang salah dalam kondisinya akan tetapi dengan keuntungan subjektif yang kecil yang mereka dapatkan akan cepat merasakan kehilangan toleransinya dan menyebabkan ketergantungan.

Evaluasi
Oleh karena pengaruh dari factor psikologi pada nyeri kronik, penyaringan sebaiknya dilakukan pada penyaringan awal. Ini sangat bermanfaat untuk memeriksa tanda waddel atau atau menemukan penyebab nonfisiologi, yang bisa cepat dilakukan selama melakukan pemeriksaan fisik. Tes yang dilakukan adalah menekan bagian atas kepala dengan posisi pasien berdiri, untuk memberikan tekanan pada tulang belakang. Pasien low back pain yang menderita gangguan somatoform sering merasakan nyeri yang bertambah. Jika pasien yang hanya menderita nyeri tulang belakang tanpa ada gangguan somatoform manuver ini tidak akan memperberat nyeri.
Kormobiditi psikiatri kapanpun didapatkan atau dicurigai, penyaringan secara lebih menyeluruh sebaiknya dilakukan seperti melakukan tes Multidimensional Pain Inventori dan Test Minnesotta Multiphasic Personality Inventory 2 (MMPI-2). Tes menyeliuruh seperti ini kurang praktis dilakukan pada keadaan yang memerlukan waktu cepat, dan biasanya hanya cocok dilakukan oleh konsulen psikiatrik yang sering menangani kasus-kasus nyeri kronik. Meskipun para dokter yang menangani keadaan akut tidak melakukan evaluasi seperti ini dengan dirinya sendiri, mereka seharusnya mengetahui bahwa ini telas diselesaikan atau akan dilaksanakan secepat mungkin. Kegagalan dalam mengangani pasien-pasien nyeri kronik dengan gangguan psikiatri dapat menghasilkan gangguan yang lama dalam angka pasien yang substansial.

Psikologi dari ketergantungan opioid
Ketergantungan opioid pada pasien dengan keluhan nyeri masih controversial, dan lebih lanjut dibahas dalam artikel yang ditulis oleh Hansen yang dalam topik ini membahas pasien yang mencari-cari obat. Perlu dicatat bahwa penggunaan opioid yang lama terutama menggunakan dosis yang tinggi dapat menimbulkan kondisi peningkatan sensitivitas nyeri. Pasien yang tergantung dengan dosis harian akan merasa lebih buruk ketika efek dari obat menghilang, dan di saat nyerinya mulai terasa mereka menggunakannya lagi untuk waktu yang sementara, meskipun secara menyeluruh kondisi nyeri mungkin tidak dapat diperbaiki. Pasien-pasien ini mungkin memandang opioid sebagai kebutuhan untuk bertahan. Ini mungkin menjadi hal yang sulit untuk mengontrol penggunaan opioid dan dan mendatangi ruang gawat darurat saat mereka tidak bisa menghadapi nyerinya lagi. Mereka mengeluh nyeri yang semakin bertambah dari keadaan-keadaan yang pada umumnya tidsak memerlukan opioid. Pasien yang memperluas kebutuhannya pada opioid yang pada umumnya tidak tergantung opioid pada waktu yang mendatang, dan mungkin akan mengalami hal lain dalam mengenai masalah penggunaannya.
Psikologi dari dokter juga mempengaruhi penggunaan opioid dan intrepretasi efektifitas meraka dalam menangani nyeri kronik. Beberapa pasien tetap direseokan obat-obat tertentu seharusnya telah ditentukan penggunaannya. Mereka akan melebih-lebihkan keuntungan yang diperolehnya dan menyangkal efek yang tidak diinginkan. Hal ini lebih mudah dan lebih cepat dibanding dengan mengikutimteori yang telah ada. Beberapa dokter keulitan untuk menentukan pembatasan-pembatasan ini. Dokter mungkin menyadari bahwa resep obat yang telah ia berikan melebihi dari apa yang telah ditetapkan, tapi dosis yang rasional diberikan pada pasien terutama dengan pasien seperti ini tidak akan berhasil. Dokter yang bekerja di di gawat darurat dapat mengantisipasi hal ini dan merencanakan melakukan konsultasi jika diinginkan, bagaimana berhubungan dengan mereka.

Ringkasan
Emosi dan mengevaluasi tentang hal ini sangat penting dalam evaluasi dan penanganan dari nyeri. Menangani nyeri fisik sendirian dapat menyisakan isu-isu yang lama yang belum terpecahkan dan mungkin memperburuk kedaannya. Mengerti dampak dari ketakutan, harapan, dan perhatian dapat membantu dokter dalam menangani pasien-pasien dengan nyeri akut secara efektif. Permasalahan psikologi adalah hal yang utama pada nyeri kronik. Meskipun dokter yang menangani keadaan nyeri akut mungkin tidak menangani kondisi psikologisnya, dia dapat menyarankan pasien untuk datang ke psikiater atau ketempat lain yang menangani secara multidisiplin.






(More........)

cellink @|| 10:27 AM ||  1 comments


Blog Advertising - Advertise on blogs with SponsoredReviews.com
Free Music
Free Music
Free Music


ABOUT ME....

Juventini

New Archive

Archive
Shout Box

Link
It's Mine
My Community
Affiliated

JANGAN ASAL COPY PASTE..
banner angingmammiri KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia bloggingwithlove

Copy My Banner

LINKKARDOEA

Statistic