22 May 2008 |
“Dokter, Langkahmu Menentukan Nasib Bangsaku” |
Kelangsungan hidup suatu bangsa tidak pernah lepas dari pengaruh tokoh-tokoh yang ada didalamnya, begitupun apa yang telah kita rasakan hari ini adalah hasil dari sebuah karya besar yang telah diciptakan oleh tokoh bangsa kita yang hidup pada masa lalu, masa disaat bangsa ini tertindas oleh penjajahan. Kalau kita melihat kembali sejarah bangsa kita, selama 350 tahun bangsa kita dijajah, dengan segala macam bentuk penindasannya. Namun setelah terjadinya 2 peristiwa penting yaitu lahirnya Budi Utomo (1908) dan Sumpah pemuda (1928), Indonesia mendapatkan sebuah “ruh” yang baru, “ruh” yang membangkitkan kembali semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia
Telah genap seabad yang lalu tepatnya tanggal 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai hari kebangkitan nasional, Budi utomo lahir dari rahim-rahim mahasiswa kedokteran Bumi Putra yang juga dikenal dengan STOVIA. Atas anjuran dr. Wahidin Sudirohusodo, dr Sutomo beserta mahasiswa kedokteran lainnya melakukan pertemuan di ruangan anatomi STOVIA untuk membahas masa depan bangsa serta perlunya agen-agen perubahan (agent of change) untuk mempelopori pembangunan kebangsaan. Peranan dokter sebagai tokoh perjuangan dari masa ke masa rasanya sulit untuk kita hilangkan dari memori yang tersimpan di “gyrus-gyrus” otak kita. Kiprahnya dimulai dari masa kebangkitan nasional, yang dipelopori oleh mahasiwa kedokteran, keikutsertaannya dalam penumpasan penjajah di zaman Belanda dan zaman Jepang menjadi bukti bahwa dokter juga selalu mengisi garis depan atau belakang dalam setiap pertempuran. Beberapa diantaranya seperti Prof. dr. A Mochtar yang ditembak mati dalam tahanan Kem Pei Tai di Jakarta (1945), Dr Muwardi pendiri barisan pelopor yang diculik dari RS Jebres Solo (1945) yang tidak pernah ditemukan sampai saat ini, dr. Rubini dipancung jepang di Pontianak dan masih banyak dokter-dokter lainnya yang rela mengorbankan jiwaraganya semata-mata bertujuan melihat bangsanya kembali ceria. Terlihat jelas disini bahwa begitu besar peranan mahasiswa kedokteran dalam sejarah kebangkitan nasional, sebuah hari awal pergerakan menuju kemerdekaan bangsa. Kiprah dokter tidak berhenti disini saja, setelah kemerdekaan RI dokter kemudian diperhadapkan dengan tantangan baru untuk membangun bangsanya khususnya meningkatkan kualitas kesehatan bangsa Indonesia yang merdeka. Beberapa konsep yang telah dibuat seperti yang konsep pembangunan kesehatan integratif; memadukan RS, Poliklinik, BKIA dalam sistem rujuk; penempatan dokter di daerah sebagai dokter PTT, penempatan bidan desa, pemanfaatan obat generik; perubahan paradigma sakit menjadi paradigma sehat; penggagasan pelayanan kesehatan terpadu berbasis dokter keluarga; program JPKMM/Askeskin; penurunan harga obat-obatan serta pencanangan desa siaga semuanya adalah perjuangan dokter-dokter kita untuk menyehatkan bangsa ini. Apakah kita mampu melanjutkan perjuangan dokter-dokter mulia ini…!!! Figur seorang dokter pada masa lalu patut untuk kita berikan acungan jempol, mereka tidak hanya dididik untuk menjadi seorang yang bisa menyembuhkan penyakit saja tetapi mereka juga didik untuk berpikir bagaimana memerdekakan bangsanya, memajukan bangsanya, dan meninggikan derajat bangsanya menjadi bangsa yang terhormat. Mereka tidak akan pernah tahan melihat tanah pijakannya dibasahi oleh tangisan rakyat yang terjajah karena bangsa yang sedang sakit sebab didalam dirinya terpatri jiwa seorang dokter yang selalu melihat nilai kesetaraan. Menurut Ketua PB IDI, Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes, “Dokter adalah seorang cendikiawan yang dalam menjalankan profesinya langsung berhadapan atau berada di tengah masyarakat dibekali nilai profesi yang menjadi kompas dalam segala tindakannya. Nilai profesi itu antara lain adalah kemanusiaan (humanism), etika (ethics) dan kompetensi (competence). Dimanapun dokter ditempatkan seyogianya ia menjalankan trias peran dokter: agent of treatment, agent of change, dan agent of development. Itulah yang dilakukan oleh dr. Wahidin dan para sejawatnya seabad yang lalu jauh sebelum adanya rekomendasi WHO.”
Kalau kita merenung mungkin saat ini bangsa kita sakit lagi seperti 100 tahun silam walaupun dengan kondisi yang berbeda. Berbagai masalah kesehatan datang silih berganti seperti ombak pantai yang tak henti-hentinya menghempaskan gelombangnya di dataran Indonesia. Secara umum, terdapat dua jenis persoalan yang berkaitan dengan turunnya kualitas kesehatan ini, yaitu, masalah kesehatan yang bersifat luar biasa dan temporer namun memiliki dampak yang besar, seperti flu burung dan yang terakhir virus Enterovirus (EV71) yang mematikan yang telah menyerang China. Jenis lain adalah ancaman kesehatan yang sebenarnya merupakan kejadian yang berpotensi berulang setiap tahun, namun mengalami peningkatan baik kuantitas dan kualitas. Persoalan dalam kelompok ini mencakup wabah demam Berdarah, polio, serta penyakit yang berkaitan dengan gizi, baik yang berupa gizi buruk, kelaparan, dan busung lapar. Berdasarkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) permasalahan kesehatan meliputi 6 sub sistem yaitu (1) sub sistem pelayanan kesehatan (2) sub sistem pembiayaan kesehatan, (3) sub sistem sumber daya manusia kesehatan (4) sub sistem obat dan perbekalan kesehatan (5) sub sistem Pemberdayaan Masyarakat dan (6) sub sistem manajemen kesehatan. Depkes RI dalam situsnya memberitakan sebanyak 359 anak di NTB menderita busung lapar dan telah merenggut 8 jiwa sehingga digolongkan dalam kejadian KLB, kutipan Koran Tempo (31/5/05) memberitakan bahwa sebanyak 1.159 balita di Tangerang dinyatakan bergizi buruk atau pada tahap mendekati busung lapar, untuk menangani hal ini maka anggaran yang telah ditetapkan pemda untuk pendirian klinik gizi di 27 puskesmas harus dipangkas. Belum lagi Makassar seorang ibu yang sedang mengandung, dan anaknya tewas setelah 3 hari tidak makan. Dan yang terakhir seorang bapak yang tega meracuni ketiga anaknya karena tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya untuk makan dan minum. Realitas ini hanyalah sebagian dari begitu banyaknya kasus yang terjadi. Dalam rapat yang membahas masalah-masalah kesehatan 2008, penyakit-penyakit utama yang dibahas adalah AIDS, TB, Malaria dan DBD. Di Indonesia, penderita HIV/AIDS tercatat sejumlah 9689 jiwa sampai Juni 2007. DBD pun mewabah Hingga akhir April 2007, 9 dari 13 kabupaten dan kota di Kalsel terjangkit DBD sehingga statusnya dinyatakan sebagai KLB. Sementara itu, dari 300 lebih kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia, ada 37 dintaranya dinyatakan sebagai ‘daerah merah’ karena rendahnya konsumsi garam beryodium. Dan masih banyak lagi wabah penyakit yang mesti segera ditanggulangi. Realisasi paradigma sehat yang sebagian besar tertuang di dalam Visi Indonesia Sehat 2010, nampaknya masih cukup jauh dari harapan. Bahkan tidak berlebihan jika mengatakan pembangunan kesehatan kita saat ini terancam gagal. Sebagai gambaran, indeks pembangunan manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia tahun 2007 berada di peringkat 107, dibanding dengan Negara tetangga lainnya seperti Australia yang berada di peringkat 3, diikuti Singapur yang berada di peringkat 25, Brunei di peringkat 30, Malaysia di peringkat 63 dan kemudian Thailand di peringkat 78. Indonesia bahkan menjadi juru kunci untuk tingkat ASEAN. Data BPS pada tahun 2005, HDI/IPM bangsa indonesia pada tahun 2005 menunjukkan angka sebesar 0,9. HDI merupakan gambaran keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa dari Program Pembangunan PBB (UNDP), yang dilihat dari tiga aspek, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi. Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional. Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter. Masyarakat miskin sedikitnya bisa bernafas lega dengan kebijakan pemerintah dengan menrunkan harga obat dan adanya program pemerintah berupa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin atau lebih dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) yang merupakan jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu. Dr. dr. Fahmi Idris, M.Kes, mengatakan bahwa “Para dokter telah terjebak pada rutinitas profesionalisme yang sempit. Banyak dokter yang akhirnya lebih concern bahwa ilmu kedokteran hanyalah mempelajari segala sesuatu tentang penyakit. Akibatnya kewajiban untuk menyehatkan rakyat hanya sekadar menganjurkan minum vitamin, mineral, tonik, dll, serta mengobati pasien yang sakit. Dokter lupa bahwa selain melakukan intervensi fisik, juga harus berperan dalam intervensi mental dan sosial di tengah masyarakat. Dokter dalam kiprahnya seyogianya menerapkan trias peran dokter: sebagai agent of treatment, agent of change dan agent of development. WHO baru tahun 1994 mengidentifikasi kiprah ini dan menyebutnya sebagai “The Five Star Doctors” yaitu: Community leader, Communicator, Manager, Decision Maker dan Care Provider.” Menangani permasalahan-permasalahan kesehatan diatas bukanlah sebuah hal yang tidak bisa lakukan. Oleh karena itu melakukan revitalisasi dalam bidang kesehatan adalah hal yang “urgent”. Peran dokter dalam peningkatan indeks pembangungan manusia (IPM) dapat memberikan kontribusi yang cukup besar. Diperlukan dokter yang mampu memberikan inspirasi, motivasi dan dapat menggerakkan masyarakat luas maupun semua sektor untuk berperan aktif dalam upaya kesehatan. Selain itu dokter juga harus memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang kebijakan publik, kaya ide-ide inovatif dan mampu mengkomunikasikanya secara elegan kepada masyarakat luas. Kita tidak boleh hanya tinggal diam melihat bangsa ini kembali sengsara, bangsa kita telah sakit secara fisik, mental dan sosial. Jika hal ini terus dibiarkan maka akan menyisakan kepedihan-kepedihan bagi anak cucu kita. Dokter yang saat ini masih memandang sehat sebagai penyehatan fisik saja maka ini harus diubah, ia harus berperan juga dalam penyehatan mental dan sosial bangsa, tidak sebagai agen yang mengobati saja melainkan dapat menjadi agen pengembangan dan perubahan bangsa. Sehatnya bangsa memiliki pengaruh yang besar untuk kemajuan bangsa dan ini memerlukan ketiga pilar diatas yaitu sehat fisik, mental dan sosial. Dengan melakukan revitalisasi pergerakan dokter maka bangsa kita yang sakit hari ini menjadi sehat kembali sebagaimana defenisi sehat itu sendiri menurut UU RI nomor 23 Tahun 1992 “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Semangat dokter yang hari ini mulai memudar dapat kita bentuk lagi yang kemudian menciptakan sebuah gelombang yang sangat kuat setelah seabad kebangkitan nasional. Langkah kita sangat menentukan nasib bangsa kita di kemudian hari, apa yang akan kita lakukan saat ini semoga saja dapat memberikan kenangan indah yang tak terlupakan buat penerus bangsa kita pada 100 tahun yang akan datang seperti yang telah dikerjakan dokter-dokter kita 100 tahun yang lalu. Bangkitlah wahai dokter-dokter Indonesia dari tidur lelapmu selama 100 tahun….!!!
|
cellink @|| 6:15 PM || |
|
|